Ada masa dalam hidupku ketika aku berpikir sakit ini adalah akhir dari segalanya. Tapi ternyata, justru disitulah Allah mengajarkanku untuk pulang.
Ini bukan hanya cerita tentang tiroid, imunoterapi, atau operasi yang harus kujalani. Ini adalah kisah tentang bagaimana Allah menyembuhkanku perlahan - lewat rasa sakit, air mata, dan cinta dari orang-orang yang tetap bersamaku.
Ada masa dalam hidupku ketika segalanya terasa runtuh, tubuhku lemah, pikiranku lelah, dan hatiku patah. 2008 saat itu aku masih muda, sedang menempuh kuliah, punya impian besar dan sedang mencintai seseorang yang kuanggap akan menjadi imamku. Kami sempat merencanakan pernikahan, tapi takdir berkata lain. Segalanya berakhir di saat aku begitu yakin.
Aku tahu aku dulu salah. Aku terlalu mencintai manusia hingga lupa bahwa cinta sejati hanya milik Allah. Harusnya aku berhenti ketika tanda-tanda sudah jelas, tapi aku ngeyel aku terlalu cinta, terlalu yakin. Dan ketika hubungan itu berakhir, aku menahannya sendirian mencoba terlihat kuat, padahal dalam hati aku hancur. Aku tidak menangis di depan orang lain, tapi setiap malam aku berjuang melawan gelombang sedih yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin dari situlah awal tubuhku mulai protes.
Perlahan, aku merasa tubuhku berubah. Jantungku sering berdebar cepat tanpa sebab, tanganku gemetar, berat badanku turun drastis, dan setiap hari aku merasa cemas berlebihan.
Aku akhirnya menjalani serangkaian pemeriksaan di rumah sakit besar. Dokter mendiagnosis 'Struma Diffusa Toksik' gangguan tiroid yang membuat seluruh sitem tubuhku kacau. Aku dirujuk ke poli kedokteran nuklir untuk menjalani sidik tiroid (Thyroid Scan), itu bukan pemeriksaan biasa. Aku masih ingat dinginnya ruangan laboratorium waktu itu. Tubuhku harus diberi zat radio aktif dosis kecil agar kelenjar tiroid bisa terlihat jelas lewat kamera khusus. Saat alat itu berada diatas tubuhku, aku hanya bisa menatap langit-langit dan berdoa dalam diam. Rasanya seperti hidupku dipertaruhkan diantara cahaya dan suara mesin yang tenang. Ketika pemeriksaan selesai, aku tahu-aku memang benar-benar sakit .
Setiap hari aku harus minum obat PTU untuk menekan produksi hormon Tiroid, Propanolol untuk menenangkan jantung, Obat Penenang untuk bisa tidur dan suplemen untuk menambah tenaga.
Namun perjuanganku tidak berhenti disitu. hampir setiap minggu aku harus bolak balik antara poli Endokrin, poli Rinologi, dan laboratorium. Di satu hari aku mengambil darah untuk cek FT4 dan TSH, lalu lanjut ke ruang Imunoterapi untuk Rhinitis alergi yang membuatku sulit bernafas. Kadang tubuhku bereaksi, terasa sangat lelah, seperti kehilangan seluruh tenaga hidup. Kadang aku hanya bisa rebahan, menatap langit-langit sambil menahan air mata. Tapi aku tidak pernah absen, karena aku tahu kesehatanku di ujung usaha itu.
Rhinitis alergi ku pun termasuk berat. Hidungku sering mampet total hingga malam hari dan aku tidak bisa tidur. Dokter akhirnya menyarankan operasi kauter konka - membakar bagian pembuluh darah di dalam hidung agar aku bisa bernafas lega. Prosedur itu tidak mudah. Rasanya sakit, tapi aku tetap menjalaninya. Aku hanya berpikir "Aku ingin sembuh".
Aku ingat satu momen : usai menjalani tes di bagian mata, penglihatanku sempat hilang beberapa jam karena efek obat. Aku menangis bukan karena takut buta, tapi karena merasa benar-benar sendirian.
Ditengah semua itu dokter juga menemukan Aritmia dari hasil EKG ku, dan aku sempat Echo jantung untuk memastikan kondisinya. Dalam sehari aku bisa berpindah dari satu poli ke poli lain, dengan tangan penuh kapas bekas suntikan. Aku lelah-tapi aku tidak menyerah.
Saat itu aku masih kuliah dan sedang menyiapkan tugas akhir jurusan Teknik Informatika - Tugas yang menuntut fokus logika, dan ketenangan. Tapi tubuhku justru berperang setiap hari, antara pikiran yang ingin menyerah dan hati yang berusaha bertahan.
Meski tubuhku begitu lemah, aku mencoba menyelesaikan kuliahku. Saat teman-temanku sibuk dengan kegiatan kampus, aku sibuk di rumah sakit. Kadang aku mengetik kode program tugas akhirku di bangku tunggu poli, diantara antrean pasien lain. Tapi Allah terus meniupkan semangat lewat orang-orang baik disekitarku-Bapak, Mamah, dosen-dosen, dan beberapa sahabat yang selalu menguatkan. Rasanya seperti Allah menggandeng tanganku satu persatu, menuntunku keluar dari gelap.
Banyak orang yang tidak tahu bagaimana rasanya hidup dengan penyakit seperti itu. Dari luar aku terlihat sehat masih tersenyum, masih bisa beraktifitas tapi didalam tubuhku, ada perang yang tidak henti-hentinya. Bahkan beberapa orang ada yang menertawakanku, menganggapku "lebay" atau "terlalu sensitif" hanya karena aku sering ke rumah sakit. Tapi hanya aku dan Allah yang tahu betapa sakitnya tubuh ini, dan betapa kerasnya aku berjuang untuk tetap hidup dan belajar.
Diantara rasa sakit itu, aku mulai belajar satu hal penting: Mungkin semua ini bukan hukuman. Mungkin Allah sedang menegurku dengan lembut, menghapus dosa-dosaku lewat sakit yang kupikul. Mungkin inilah caranya agar aku kembali berserah.
Aku mulai berdoa lebih sering, meski dengan air mata,
"Ya Allah, jika sakit ini adalah jalan untuk menghapus dosaku, maka kuatkan aku menjalaninya."
Sedikit demi sedikit, tubuhku mulai stabil. Hasil lab membaik, gejala tiroid mereda, dan aku bisa kembali tersenyum tanpa berpura-pura. Aku berhasil menyelesaikan kuliah, bahkan mendapat pekerjaan sebelum wisuda. Saat aku berdiri di podium wisuda itu, aku tahu - aku bukan hanya seorang lulusan, tapi penyintas.
Beberapa tahun kemudian aku menikah. Allah mengirim seseorang yang tidak datang untuk menambal luka, tapi untuk menemani proses penyembuhan. Suamiku tidak banyak bicara, tapi selalu ada. Dalam diamnya aku menemukan ketenangan yang dulu hilang.
Kehamilan pertamaku datang dengan ujian lain. Karena riwayat kesehatanku, kehamilanku dipantau ketat oleh dokter spesialis Endokrin, Obgyn dan Fetomaternal. Aku diminta melahirkan di rumah sakit besar, saat itu ketubanku rembes dan harus diinduksi. Setelah perjuangan panjang dan kontraksi yang melelahkan, akhirnya aku menjalani operasi sesar cito karena bayiku kritis. Saat itu ditemukan kista 6cm yang langsung diangkat.
Aku pulih pelan-pelan, meski bekas sayatannya panjang. Aku hanya bersyukur karena kami berdua selamat.
Tahun 2018 aku hamil lagi. Kali ini dengan ujian baru. Di usia kehamilan 36 minggu, tekanan darahku tiba-tiba melonjak tajam akibat Praeklampsi berat. Tidak ada waktu untuk menunggu, dokter langsung memutuskan operasi sesar semi-cito. Aku hanya sempat berdoa pelan di ruang operasi,
"Ya Allah, Aku pasrah, kuatkan aku."
Sekali lagi, Allah menolong tepat pada waktunya. Bayiku lahir dengan selamat, dan aku diberi kesempatan kedua untuk hidup.
Setelah semua perjalanan panjang itu, aku menatap masa lalu dengan senyuman dan rasa syukur. Aku tidak menyesal pernah mencintai, karena dari sanalah aku belajar tentang kehilangan dan keteguhan hati. Aku tidak menyesal pernah sakit, karena disitulah aku mengenal makna doa. Aku tidak menyesal pernah jatuh, karena dari sanalah aku belajar berdiri dengan lebih kuat.
Aku tidak lagi bertanya "kenapa aku? " tapi justru "Untuk apa Allah memberikanku ujian ini?"
Aku tidak menyimpan amarah pada siapapun dari masa lalu. Aku menghargai mereka yang pernah datang, karena lewat mereka aku belajar tentang diriku sendiri. Dan kini aku tahu, Cinta sejati adalah yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, bukan menjauh dari-Nya.
Aku sadar, sakit yang pernah kualami bukan sekadar ujian, tapi juga penebus.
Penebus untuk masalaluku, untuk keras kepalaku, dan untuk cinta yang dulu salah arah.
Setiap rasa sakit, setiap air mata, setiap ruang tunggu rumah sakit yang pernah kudatangi semuanya bagian dari jalan pulangku menuju Allah. Dan pada akhirnya aku bersyukur
Karena ternyata, sejak awal Allah tidak pernah meninggalkanku.
Kini aku hidup lebih lembut, lebih tenang, dan lebih bersyukur. Aku masih minum obat untuk tekanan darah, masih kontrol sesekali, tapi aku tidak takut. Karena aku tahu, sakitku dulu bukan akhir, tapi awal dari kesembuhan yang sebenarnya.
Aku pernah jatuh, tapi tidak pernah ditinggalkan.Aku pernah terluka, tapi Allah menyembuhkanku dengan cara yang paling indah.
Dan kini, aku hidup bukan karena kuat, namun karena disembuhkan oleh kasih-Nya.
Dan aku bersyukur karena di setiap luka, ternyata Allah selalu ada.
Komentar
Posting Komentar