Kadang aku masih tertawa kalau mengingat bagaimana semuanya terjadi di tahun 2011. Kami baru kenal Maret, mulai dekat Akhir Mei, lalu di akhir Agustus sudah lamaran, dan Menikah di September.
Dulu aku pernah hampir menikah. Semuanya sudah siap: baju akad sudah dibeli, rumah sudah dibereskan, konsumsi sudah disiapkan. Tapi disaat akhir ada salah paham dan semuanya batal begitu saja. Sejak itu, aku belajar bahwa kadang sesuatu yang tampak 'siap' belum tentu jadi, dan sesuatu yang tampak terlalu cepat bisa jadi jalan terbaik.
Jadi ketika suamiku datang, aku mengikuti kata hati. Kami bahkan sudah cetak undangan, daftar ke KUA, beli souvenir, dan bayar MUA sebelum lamaran resmi.
Aku baru pertama kali bertemu mertua saat lamaran, semua komunikasi hanya lewat telepon karena tinggal di Riau. Hari lamaran pun penuh cerita - bulan Ramadan, bapakku masih santai keluar mencari takjil, belum siap apa-apa. Baru ketika tahu calon menantu sudah dekat rumah, langsung heboh!
Undangan disebar mendadak di masjid Ba'da Magrib, Mc nya sepupuku yang datang karena kepo dan masih pakai sweater.
Aneh ya, semua begitu tergesa, tapi rasanya tenang.
Seolah Allah ingin menunjukan bahwa ketika waktunya tiba, tak perlu lagi banyak rencana. Dan ternyata benar, dari langkah 'nekat' itu kami dapat berjalan bersama, melewati tawa, air mata dan hal sederhana yang membuat hidup terasa penuh.
Sekarang aku percaya, jodoh bukan soal siapa yang paling lama menunggu, tapi siapa yang datang dengan niat baik di waktu yang tepat.
Karena bahkan yang terlihat terburu-buru, bisa jadi justru bagian dari rencana Allah yang paling indah.


Komentar
Posting Komentar